RSS

NONTON BOLA KISRUH, NONTON FILM PUN RUSUH....



“Kepercayaan you tu yang bikin you jadi musuhan...coba ngga’ ada kepercayaan, you semua aman-aman aja men..fanatisme itu bikin semua orang ugal-ugalan...”

Sepenggal kalimat yang ada di dalam film “kontroversi” menurut sebuah komunitas suporter sepakbola Indonesia. Romeo Juliet versi Indonesia yang beberapa minggu lalu premier di seluruh bioskop 21 di Indonesia seakan menjadi masalah baru dalam realita fanatisme sepakbola Indonesia yang begitu kuat. Film yang disutradarai oleh Andibachtiar Yusuf yang juga sutradara dari film dokumenter The Conductors itu mengisahkan kisah cinta adapatasi karya legendaris karya William Shakespeare dengan kemasan lokal Indonesia antara gambaran realita yang terjadi dengan cerita fiksi. Dan yang berbeda pula, film ini berlatar belakang tidak seperti Romeo Juliet aslinya dengan latar belakang sosial keluarga kaya raya, namun menggambarkan sepakbola sebagai latar belakangnya.




Menceritakan seorang suporter The Jakmania yang bernama Rangga, diperankan oleh Edo Borne jatuh cinta dengan seorang gadis pendukung Persib Bandung, bernama Desi, yang diperankan oleh Sissy Prescillia. Namun kisah cinta mereka tidak berjalan dengan apa yang diharapkannya, karena latar belakang fanatisme sepakbola yang berbeda dengan kedua kelompok suporter yang saling berseteru sejak lama, The Jakmania pendukung Persija Jakarta dengan Viking pendukung Persib Bandung. Di hati Rangga, dia cinta Persija sampai mati, dan tidak segan-segan melakukan kekerasan ketika ada yang membenci timnya, namun juga cinta kepada Desi. Begitu juga dengan Desi, sejak kecil dia hidup dalam komunitas kelompok suporter Viking. Apalagi kakaknya, Parman yang diperankan oleh Alex Komang merupakan salah satu sosok yang dituakan oleh kelompok suporter Viking.

Dari latar belakang yang berbeda dan saling menjunjung tinggi fanatisme kelompok suporter masing-masing, permasalahan pun timbul. Antara fanatisme terhadap tim sepakbola dengan rasa cinta keduanya yang berlatar belakang berbeda. Jika Rangga mencintai Desi, maka diapun juga akan mencintai timnya sampai kapanpun. Begitu juga sebaliknya, Desi pun juga tidak akan luntur cintanya kepada timnya sama seperti dia mencintai Rangga. Namun kenyataan berkata lain, bahwa kedua pihak memang tidak kenal kompromi. Mereka seakan dipisahkan atau dikotakkan ke dalam jurang yang berbeda dan tegas oleh fanatisme.

Realita yang terjadi bahwa memang fanatisme dalam suporter sepak bola Indonesia yang merupakan suporter dengan tingkat fanatik terhadap tim kebanggaannya yang sangat tinggi. Ibarat seperti darah yang mengalir di dalam tubuh seseorang, sangat melekat. Dan terkadang ketika rasa fanatisme itu berlebihan maka sama seperti kalimat yang ada di film Romeo Juliet, “fanatisme itu bikin semua orang ugal-ugalan..” ketika hal itu tidak terkontrol. Dan pada akhirnya akal sehat tidak serta merta dipakai yang berujung pada tindak kriminal, kerusuhan seperti yang selama ini kita lihat dalam wajah persepakbolaan tanah air kita. Yang seakan akan sulit untuk dihentikan atau paling tidak diminimalisir.

Dalam hal ini fenomena “kontroversi” film Romeo Juliet versi Indonesia sangatlah wajar. Ketika seseorang atau kelompok tertentu dengan fanatisme yang tinggi pada saat tertentu mereka akan bereaksi saat muncul kejadian atau hal-hal yang menurut mereka tidak semestinya atau secara riilnya menyinggung kefanatismean mereka. Terlebih dengan hal-hal yang menurut mereka sudah mengenai apa yang menjadi jati diri atau harga diri mereka. Seringkali hal-hal seperti ini terjadi, tentu masih ingat bagaimana film Perempuan Berkalung Surban sutradara Hanung Brahmantyo yang dianggap kontroversi oleh sebagaian kelompok muslim Indonesia atau film The Davinci Code yang lebih kontroversi karena beberapa negara menolaknya.

Sebenarnya yang menjadi permasalahan yang lebih dikhawatirkan dalam fenomena seperti ini dalam hal ini berkaitan dengan pemboikotan film Romeo Juliet adalah pada bagaimana pengaruh media dalam hal ini film, yang awal tujuan dibutanya merupakan media untuk memberikan harapan baru guna meminimalisir kerusuhan suporter malah menjadi sebuah permasalahan baru. Seperti pada kasus pemboikotan film ini yang berujung dengan aksi anarkis, ketika sutradara film Romeo Juliet Andibachtiar Yusuf didatangi oleh beberapa kelompok yang kontra dengan film ini di kawasan Bandung beberapa hari lalu seperti yang dilansir oleh beberapa berita.

Dari kejadian tersebut bukan tidak mungkin aksi kerusuhan tidak hanya terjadi dalam sebuah pertandingan sepakbola saja namun ketika sebuah karya kreatifitas seseorang yang seharusnya dapat diapresiasikan bersama-sama secara kreatif dan membangun tentunya akan menjadi hal yang sama, tidak ubahnya seperti kerusuhan di setiap pertandingan sepakbola. Media kreatifitas yang seharusnya dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif, solusi untuk mengakhiri aksi anarkis dan bermusuhan malah menjadi api baru timbulnya perpecahan. Toh didalam film ini tidak hanya kekerasan yang memang realita kehidupan sepakbola Indonesia saat ini. Di dalam realita ini dapat ditunjukkan kepada masyarakat luas bahwa memang sudah sangat parahnya aksi anarkis yang begitu melekatnya pada suporter sepakbola Indonesia, inilah yang memang terjadi. Dan di sisi lain sebenarnya di dalam lubuk hati individu seorang suporter ada sikap lelah dan ingin untuk mengakhiri semua tindakan anarkis ini.

Namun sekali lagi, ketika berbicara tentang fanatisme memang seperti kita berbicara di atas bara api, sedikit kesalahan atau menyinggung ucapan maka rasa emosi, perpecahan yang timbul. Ketika ada sebuah kontoversi atau rasa ketidakpuasan rasanya patut untuk melakukan sebuah diskusi seperti pada kasus kontroversi film-film lainnya tidak seperti ketika kita atau para suporter menonton sepakbola, tidak puas dengan apa yang dilihat anarkislah yang dilakukan. Hal yang saya pikir benar dan setuju sekali, seperti juga apa yang dikatakan oleh Hevi Fauzan dalam sebuah situsnya bahwa dialog merupakan metode yang cocok untuk mencegah eksklusivitas kebudayaan. Dialog ini menuntut keterbukaan dan inklusivitas, bukan sastra prasangka dan eksklusivitas (Yasraf Amir Piliang, Sastra dan Estika Massa, Pikiran Rakyat). Itu hak mereka untuk menolak film tersebut, namun apakah tindakan pemboikotan adalah jalan yang benar dan pada akhirnya juga berujung dengan aksi anarkis. Boleh mereka menolak film Romeo Juliet diputar di Bandung, namun untuk masyarakat luas yang secara latar belakang dan sejarah tidak tahu perseteruan kedua kelompok suporter ini seperti terkena imbasnya, tidak sedikit masyarakat Bandung tanya dalam milis atau facebook kapan dan mengapa film Romeo Juliet diboikot. Hal ini seperti juga melakukan pembodohan dan mematikan kreatifitas seseorang dan masyarakat secara umum.
Disini kita cukup mengetahui gambaran realita yang terjadi dalam kelompok suporter Indonesia, meski itu tidak semuanya. Fanatisme buta dan tidak pada tempatnya seringkali membuat seseorang menjadi seperti kehilangan akal sehat. Terbukti dengan semakin seringnya aksi kerusuhan suporter di Indonesia. Akankah kita menjunjung tinggi fanatisme buta dan menempatkan fanatisme itu tidak pada tempatnya?... Kalaupun iya, maka sulit rasanya untuk kita khususnya suporter sepakbola Indonesia untuk mengimpikan kedamaian, meskipun tidak ada kambing hitam wasit, badan sepakbola, ataupun yang lainnya.


sumber :Oni Restu Aremania Jombang

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar